Oleh : M. Syamsul Huda
Pada dasarnya dalam kehidupan keagamaan
ada dua elemen penting dan mendasar dalam setiap bingkai suatu agama, yaitu
lokalitas dan spiritualitas. Lokalitas akan sangat mempengarui spiritualitas.
Spiritualitas akan memberi warna dan corak lokalitas, keduanya akan saling
mempengarui, bersinergi, bersenyawa dan berintegrasi.
Spiritualitas lahir dan
terefleksikan dari azas ajaran agama yang sangat terpengaruh dari muatan local
itu sendiri. Hal ini memunculkan ekpresi kerohanian dan praktik praktik ritual
sesuia doktrin keagamaan local yang dianut oleh suatu masyarakat disitu
sendiri. Dalam ekpresi spiritualitas dan praktik ritualitas tadi sudah barang
tentu masuk unsur unsur lokalitas baik tradisi, adat istiadat, kebiasaan dan
seni budaya setempat yang kemudian menyatu, bersenyawa dan berintegrasi dengan
unsur unsur spiritualitas dan ritualitas. Semua ini membentuk konstruk
sosiokultural-spiritual-ritualitas yang menyatupadu dalam ranah kehidupan
masyarakat beragama ditempat situ. Kontruksi seperti ini, maka ranah agama
tidak dapat dipisahkan dari wilayah tradisi,kebiasaan, seni dan budaya.
Sebaliknya wilayah tradisi, kebiasaan, adat istiadat seni dan budaya tidak
dapat dilepasklan dari ranah agama, dalam hal ini Durkheim melihat bahwa agama
sebagai fakta fakta social.
Berabad abad yang lampau,
terjadi banyak pertentangan paham mengenai pertanyaan: Apakah filsafat
merupakan abdi teologi, suatu telaah yang bebas serta mandiri, ataukah
merupakan pelengkap bagi teologi. Pertanyaan ini diperdebatkan secara hangat
ketika teologi sangat menarik perhatian dan dipandang penting. Pada masa masa
itu hanya orang orang tertentu yang masuk universitas, dan biasanya mereka
sedang menyiapkan diri untuk pekerjaan kependetaan, hokum ataukah kedokteran.
Jika kita kembali pada Aristoteles dan Plato, maka kita jumpai banyak pikiran
yang telah dikemukakan untuk menjawab pertanyaan pertanyaan mengenai agama.
Mungkin kebanyakan para
mahasiswa yang mengikuti kuliah kuliah filsafat mengharapkan jawaban jawaban
yang tegas atas pertanyaan pertanyaan mereka yang bersifat keagamaan. Agaknya
para mahasiswa mengharapkan bahwa para filsuf akan memberikan jawaban atas pertanyaan
pertanyaan mereka yang bersifat keagamaan secara lebih obyektif, ketimbang yang
akan diberikan oleh seorang rohaniawan. Seperti halnya pada suatu hari, seorang
mahasiswa mengatakan kepada saya” Tidak ada gunanya pergi kepada pastur saja
untuk menanyakan masalah ini, saya telah mengetahui jawaban yang akan
diberikannya sebelum saya bertanya kepadanya”. Hendaknya kita selalu mengingat
fakta, bahwa didalam filsafat untuk sebagian terbesar kita mengajuhkan
pertanyaan pertanyaan mengenai hal hal lain dan hendaknya kita jangan
terpedaya. Disini kita harus mengadakan pembedaan yang serupa dengan apa yang
telah kita lakukan dalam hubungannya dengan biologi kefilsafatan. Jika kita
ingin mengetahui sesuatu di dalam kepercayaana agama tertentu, maka tanyakanlah
kepada seorang pastur, pendeta atau rabi.
Sedangkan bagi seorang filsuf
ia kan membicarakan jenis jenis pertanyaan yang berbeda mengenai agama. Pertama
tama ia mungkin bertanya, Apakah agama itu? Apakah yang anda maksudkan dengan
istilah Tuhan? Apakah bukti bukti tentang adanya Tuhan itu sehat menurur
logika? Bagaimanakah cara kita mengetahui Tuhan? Apakah Makna eksistensi bila
istilah ini dipergunakan dalam hubungannya dengan Tuhan? Kita tidak
berkepentingan mengenai apa yang orang percayai, tapi sebagai filsuf kita mau
tidak mau harus menaruh perhatian kepada makna istilah istilah yang
dipergunakan, keruntutan di antara kepercayaan kepercayaan, bahan bahan bukti
bagi kepercayaan dan hubungan antara kepercayaan agama dengan kepercayaan
kepercayaan yang lain. 1
A. BIOGRAFI
DURKHEIM
Durkheim
dilahirkan di Epinal suatu perkampungan kecil orang Yahudi di Bagian timur
Prancis yang agak terpencil dari masyarakat luas pada tanggal 15 April 1858, ia
disebut sosiolog Prancis pertama yang menempuh jenjang ilmu sosioloogi paling
akademis. Beliau memperbaiki metode berpikir sosiologis yang tak hanya berdasar
pemikiran-pemikiran logika filosofis namun sosiologi menjadi suatu
ilmupengetahuan yang benar apabila mengangkat gejala sosial sebagai fakta-fakta
yang dapat di observasi.
Durkheim
mengenal akar-akar sosiologi dari pemikiran filsuf kuno seperti Plato dan
Aristoteles, dan filsuf Perancis Montesquieu dan Condorcet, Durkheim memandang
filsuf terdahulu belum melangkah jauh sebeab mereka belum mencoba menciptakan
disiplin baru
Minat
Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik.Kekalahan Prancis
dalam Perang Prancis-Rusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan
republikan yang sekular.Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat
nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan
Prancis yang memudar di daratan Eropa.Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis,
berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya
secara politik.Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai
seorang aktivis.
Seseorang
yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan
akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama
setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja
membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Prancis.Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu
posisi baru di Prancis).
1) Soejono
Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogjakarta: Tiara Wacana Yogja, 2004) h. 80
Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis dan
memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali,
kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dn agama ke dalam fakta sosial
semata-mata membuat ia banyak dikritik.
Adapun karya utama yang sering dirujuk oleh para ahli sosiologi dari
Durkheim yaitu:
Ø the
Division of Social Labor in Society( 1893 )
Ø The
Rules of Sociological Method (1895 )
Ø Suicide
( 1897 )
Ø The
Elementary forms of Religious life ( 1912 ).2
B. DEFINISI
AGAMA MENURUT DURKHEIM
Dalam tulisan tulisannya yang paling
dini, Durkheim mengulas arti penting
dari agama dalam masyarakat dan mengenalnya sebagai sumber orisinil dari semua
gagasasan moral, filsafat, ilmu pengetahuan dan keadilan. Dasar utama yang
mendasari teori yang disajikan dalam The Elementary Forms of the Religious
Life bersifat fungsional yaitu berkaitan
dengan peran fungsi agama dalam masyarakat.
Durkheim menekankan bahwa tidak ada
perpecahan mutlak antara solidaritas mekanis dan soliditas organis. Solidaritas
organis mempraduga adanya pengaturan moral yang sama banyaknya dengan yang
dipraduga oleh jenis solidaritas mekanis walaupun pengaturan itu bukanlah dalam
bentuk tradisional.
1) Sifat
Dari Yang Kudus
Buku The Elementary Forms of the
Religious Life harus dibaca secara genetic, dalam kaitannya dengan rentetan
perubahan perubahan menonjol yang telah membuat masyarakat modern sangat
berbeda dari sebelumnya. Arti penting dari pengertian Durkheim mengenai penelitian agama bahwa adanya
kesinambungan antara bentuk bentuk masyarakat tradisional dan masyarakat modern,
agar bisa memahami bentuk bentuk baru itu, orang harus menghubungkannya dengan
asal mula masing masing agamanya. The Elementary Forms of the Religious Life merupakan
pemikiran Durkheim tentang penelitian agama yang sangat cermat. Dalam buku ini
Durkheim mencoba memahami fenomena agama tidak pada masyarakat yang kompleks,
melainkan pada masyarakat sederhana, yaitu pada masyarakat Arunta, suku bangsa
primitive di Australia Utara yang diketahui orang pada masa kini. Kenapa
demikian?Agama primitive dipandang Durkheim merupakan agama dalam bentuk
aslinya dan elementer.Studi mendalam tentang agama masyarakat primitive itu
sendiri disebut oleh Durkheim sebagai totemisme Australia.
Menjelaskan fenomena agama Durkheim
dalam penelitiannya bukanlah dalam artian yang teologis, melainkan
sosiologis.Adalah keliru menurut Durkheim untuk mengira bahwa adanya
supranatural itu diperlukan bagi eksistensi agama.
2) Damsar, Pengantar
Teori Sosiologi, (Jakarta:Prenada Media Group, 2015) hlm. 82
Durkheim membuat batasan agama sebagai:
“ Suatu system yang terpadu mengenai
keyakinan, praktik yang berhubungan dengan benda benda benda suci, benda benda
khusus atau terlarang. Keyakinan keyakinan dan praktik praktik yang menyatu
dalam suatu komunitas moral yang tunggal yang disebut dengan umat / gereja
semua orang yang menganut kepercayaan dan praktek itu”.
Dari definisi ini ada dua unsur yang sangat penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat sakral" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Sifat sakral itu dapat diartikan bahwa sesuatu yang dikelilingi oleh ketentuan-ketentuan tata cara keagamaan dan larangan-larangan, yang memaksakan pemisahan yang radikal dari yang duniawi. Suatu agama tidak pernah sekedar merupakan suatu rangkaian kepercayaan: agama selalu melibatkan praktek tata cara keagamaan yang ditentukan dan suatu bentuk lembaga yang pasti. Tidak ada agama tidak punya pusat ibadah walaupun bentuknya sangat beraneka ragam.
Totemisme secara integral terkait dengan
system organisasi suku, yang menjadi ciri khas dari masyarakat masyarakat
Australia. Suatu ciri khas dari suku totem ialah bahwa nama yang menandai
identitas kelompok suku ialah sesuatu yang berupa objek materiil- suatu totem-
yang diyakini mempunyai kelebihan kelebihan yang sangat luar biasa. Tidak ada
dua suku dalam satu marga mempunyai totem yang sama. Pengkajian dari sifat
sifat totem yang diyakini dimiliki oleh totemnya, menunjukkan bahwa totem
merupakan sumbu dari dikhotomi diantara yang kudus dan yang manusiawi. Totem
adalah bentuk dasar dari hal hal yang kudus.3
Di
dalam totemisme, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu totem, lambang totem
dan para anggota suku itu sendiri.Ketiga kelas objek ini pada hakekatnya
merupakan bagian dari suatu kosmologi.Pada totemisme Australia, benda-benda
yang berada di dalam alam semesta dianggap sebagai bagian dari kelompok totem
tertentu, sehingga memiliki tempat tertentu di dalam organisasi
masyarakat.Karena itu semua benda di dalam totemisme Australia memiliki sifat
yang kudus.Jadi misalnya awan termasuk dalam golongan totem dan matahari dalam totem
yang lain, keseluruhan alam dibawakan ke dalam suatu klasifikasi teratur
berlandaskan organisasi suku totem, orang menyebutnya sebagai sahabat
sahabatnya dan menganggapnya sebagai darah daging mereka juga. Pada totemisme
Australia ini tidak ada pemisahan yang jelas antara obyek-obyek totem dengan
kekuatan kudusnya. Tetapi di Amerika Utara dan Melanesia, kekuatan kudus itu
jelas terlihat berbeda dari obyek-obyek totemnya.
Sifat sakral ini dibayangkan sebagai
suatu kesatuan yang berada di atas segala-galanya.Di sini dapat kita lihat
bahwa sesuatu itu disebut agama mengandung aspek universal mengarahkan orang
orang untuk mengelompokkan segala sesuatu baik yang bersifat nyata maupun dalam
bentuk gagasan kepada sesuatu yang bersifat suci / sacral dan yang bersifat
duniawi / profane.
3)Anthony
Giddens, Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern(Jakarta: UI-Press, 1986) h. 133
Keduanya mempunyai karakteristik yang
berbeda, bahkan ada yang bertentangan. Yang sacral / suci tidak hanya
berhubungan dengan makhluk makhluk yang punya jiwa, seperti juga benda benda
lain seperti batu, buah, pohon, dan sebagainya, termasuk upacara ritual
keagamaan. Yang sacral berada tersendiri dan terlarang, lain lainnya bersifat
profane / duniawi dikenal sebagai kehidupan keseharian.Oleh karena itu yang
sacral dipandang lebih mempunyai keunggulan dibandingkan yang profane. Namun
bukan berarti semua yang sacral memiliki kekuatan dan kehormatan yang sama.
Diantara sesame yang sacral, dengan demikian terdapat derajat kekuatan dan
kehormatan yang berbeda.4
2) Upacara
Agama ( Ritual )
Totem merupakan simbul yang paling muda
dikenali oleh suku kelompok, hal inilah mengapa agama mengambil suatu totem
sebagai bentuk khasnya? Ini disebabkan
totem merupakan lambing dari suku: perasaan perasaan yang dibangkitkan oleh
adanya kolektifitas yang menghubungkan diri dengan totem tersebut.
Sifat fundamental kedua dari agama yaitu
praktek praktek upacara yang terdapat disemua agama.Adapun praktik praktik
tentang keyakinan ( upacara ritual
keagamaan) merupakan suatu tindakan dari aturan aturan mengenai cara
berfikir, cara merasakan dalam hubungannya dengan objek objek suci atau sebagai
aturan aturan perilaku yang menggambarkan bagaimana manusia seharusnya
berhadapan dengan benda benda. Jadi ritual ritual keagamaan merupakan sarana
yang dianggap berperan dalam menciptakan kesadaran kolektif dalam masyarakat.
Praktek ritual ini ditentukan melalui
dua jenis praktek ritual, yang terjalin dengan sangat erat yaitu, praktek
ritual yang negatif, yang berwujud dalam bentuk pantangan-pantangan atau
larangan-larangan yang membatasi hubungan antara yang kudus dan duniawi.
Larangan larangan macam ini meliputi antar antar hubungan lisan maupun antar
antar hubungan perilaku dengan hal hal yang kudus, keramat. Menurut cara yang
normal tidak ada sesuatupun dari alam duniawi yang boleh masuk ke dalam
lingkungan yang kudus dalam bentuk yang tidak lekas berubah. Dengan demiokian
pakian pakian keramat khusus dikenakan untuk kejadian kejadian upacara, dan
semua pekerjaan sementara yang normal harus ditunda. Tata cara negative
mempunyai satu aspek positif pribadi orang yang mentaatinya telah mensucikan
diri dan dengan demikian telah mempersiapkan diri untuk masuk ke lingkungan
yang kudus.
Serta praktek ritual upacara yang
positif, yang berwujud dalam bentuk upacara-upacara keagamaan itu sendiri, yang
membuat masyarakat taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama, ideal ideal
yang diungkapkan dalam kepercayaan kepercayaan merupakan ideal ideal moral
dimana kesatuan masyarakat didirikan.Bilamana pribadi pribadi orang berkumpul
dalam upacara upacara keagamaan maka dengan demikian mereka itu menekankan lagi
keparcayaan mereka atas orde moral.
Masih ada jenis lain dari tata cara
menyajikan korban kepada penebusan dosa( bersifat menebus dosa) dan dari kasus
ini yang paling penting ialah kasus yang berwujud dalam upacara belasungkawa.
Seperti halnya dengan perasaan keagamaan yang menyenangkan yang
4) Damsar, Pengantar Teori Sosiologi, op.cit., hlm. 111
meningkat sampai tingkat demam dalam
kegairahan kolektif yang ditimbulkan oleh upacara,demikian pula panic karena
penyesalan dikembangkan dalam tata cara berkabung.Efek dari kejadian ini adalah
tertariknya para anggota kelompok untuk berkumpul, yang solidaritasnya terancam
oleh menghilangnya salah seorang anggota dari kelompok itu. Oleh karena mereka
itu menangis bersama, maka mereka itu saling berpegangan dan kelompok tidak
menjadi lemah, kendatipun kelompok itu telah terkena pukulan.
3) Pengetahuan
Dalam totemisme prinsip yang bersifat ke
Tuhanan lebih meresapi segala gala daripada dalam bentuk bentuk masyarakat yang
lebih komplek, rumit: kita menemukan di dalam masyarakat masyarakat Australia,
gagasan gagasan keagamaan yang seperti terjadi dimana mana, telah membentuk
sumber asal dari pelbagai system gagasan yang kemudian mengikutinya.
Klasifikasi alam menurut cara totemisme memberikan sumber permulaan dari
kategori kategori logika atau kelas kelas, di dalam mana pengetetahuan
diurutkan. Klasifikasi objek objek dan sifat sifat di alam, terbangun diatas
pemisahan masyarakat masyarakat menjadi devisi devisi suku menurut
totemisme.Kesatuan dari system system logika pertama hanya memproduksi kesatuan
masyarakat. Hal ini tidak mempunyai implikasi, bahwa masyarakat membangun
seluruhnya tanggapan daya memahami alam.5
Menurut Durkheim klasifikasi yang
bersifat elementer mempraduga adanya sedikit banyak kesadaran atas kemiripan
dan perbedaan pancaindera. Arti penting dari alasan alasan Durkheim ialah bahwa
perbedaan perbedaan asli ini tidak membentuk sumbu dari system
pengklasifikasian, akan tetapi hanya merupakan suatu prinsip kedua untuk penata
urutan.
Adanya kelas kelas logika melibatkan
pembentukan dikhotomi yang betul betul jelas batas batasnya. Akan tetapi alam
sendiri menampakkan kesinambungan dalam ruang dan waktu, dan informasi
informasi yang kita catat dengan pancaindera, dari dunia, tidak terurut dalam
cara yang tidak bersinambungan, akan tetapi terdiri atas bayangan bayangan yang
tidak jelas dan selalu bergeser. Misalnya bilama matahari berada dalam satu
kategori maka bulan dan bintang akan ditempatkan dalam kategori yang
berlawanan, bila burung kakatua putih berada di satu kotegori, maka burung
kakatua hitam ditaruh di kategori lain.
4) Rasionalissasi,
Etika dan Kultus Individu
Analisis ini bisa dikaitkan dengan teori
campur baurnya agama dan moralitas yang bersifat primitive.Dimana dalam
pemikiran keagamaan orang telah membayangkan diri sebagai dua makhluk
berlainan, raga dan jiwa.Raga dikatakan berada di dunia materiil, jiwa di dalam
lingkungan yang tidak kontinyu dari yang kudus. Suatu kepercayaan yang
universal bukanlah suatu kebetulan dan sama sekali juga bukan khayalan, serta
harus berada di atas sesuatu kegandaan, yang hakiki untuk kehidupan manusia di
dalam masyarakat. Kegandaan itu bias ditelusuri sampai ke pembedaan antara
perasaan di satu pihak dan di lain pihak. Perasaan dan kebutuhan kebutuhan rasa
seperti lapar dan haus merupakan hal hal yang mau tidak mau harus egoistis,
dalam arti bahwa perasaan dan kebutuhan rasa itu berkaitan dengan selera
organisme pribadi seseorang dan tidak mempunyai implikasi yang berkaitan dengan
orang lain.
5) Anthony
Giddens, Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern, op. cit., hlm. 140
Pikiran konseptual dan peraturan
peraturan moral tidak ada kaitannya dengan individu manapun.Tiap orang memulai
kehidupannya sebagai makhluk yang egoistis, yang hanya mengetahui perasaan,
dimana kegiatan kegiatannya dikuasai oleh kebutuhan kebutuhan rasa. Tiap orang
mempunyai sisi egoistis pada pribadinya, pada saat yang sama dia juga merupakan
makhluk social. Tuntutan moral dari kehidupan dalam masyarakat tidak bias
seluruhnya akur dengan kecenderungan kecenderungan egoistisnya, masyarakat
tidak bias dibentuk atau dipertahankan keberadaannyatanpa kita diharuskan
memberikan pengeorbanan dengan terus menerus dan berharga.
Di Tempat lain Durkheim menjelaskan hal
tersebut diatas dengan analisis sejarah. Agama Kristen protestan merupakan
sumber langsung dari mana berasal individualism moral modern. Etika Kristen
menyediakan prinsip prinsip moral dimana kultus individu di dirikan, akan
tetapi agama Kristen sekarang sedang muncul lambang lambang dan objek objek
yang kudus dari jenis baru. Hal ini bias digambarkan dimana kebebasan dan akal
budi diagung agungkan dan dimana ada kegairahan kegiatan kolektif yang tinggi
yang dirangsang oleh upacara umum. Akan tetapi walaupun ini membantu lahirnya
ideal ideal yang sekarang mewarnai kehidupan kita.Namun semangat kolektif dari
zaman sekarang berlangsung hanya sebentar. Akibatnya adalah bahwa dunia modern
berada dalam suatu kosong moral.6
Dunia modern makin lama makin terasuk
oleh rasionalisme, yang disebut Durkheim aspek intelektual dari individualism
moral.Satu akibat dari hal ini ialah tuntutan atas mutu moralitas rasional.Pendapat
tentang nilai yang melebihi segala gala dari individu manusia dengan demikian
merupaka produk dari masyarakat dan inilah yang secara pasti memisahkannya dari
egoism. Kultus individu tidak didasari oleh egoism, akan tetapi oleh kelanjutan
dari perasaan perasaan simpati yang sama sekali bertolak belakang bagi
penderitaan manusia dan keadilan social.
Yang menjadi pusat dari tesis Durkheim
ialah bahwa semua bentuk pengaturan moral tidak begitu saja bisa disejajarkan
dalam arti yang abstrak dan universal dengan tidak ada
pengaturan(anomi).Gagasan gagasan baik mengenai egoism maupun anomi harus
dipahami dalam rangka konsepsi umum mengenai perkembangan masyarakat. Dilema
masyarakat modern bukanlah harus diselesaikan dengan suatu pengembalian ke
disiplin otokratik, yang terdapat pada masyarakat masyarakat tradisional, akan
tetapi hanya dengan jalan konsolidasi moral dari pembagian kerja yang beraneka
ragam dari masyarakat.
Bahan Bacaan:
Soejono
Soemargono, Pengantar Filsafat, (Yogjakarta: Tiara Wacana Yogja, 2004)
Damsar,
Pengantar Teori Sosiologi, (Jakarta:Prenada Media Group, 2015)
Anthony
Giddens, Kapitalisme Dan Teori Sosial Modern(Jakarta: UI-Press, 1986)
Dadang
Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya 2006)
Ahmad
Tafsir, Filsafat Ilmu (Bandung: Remaja Rosdakarya 2012)
Akhyar
Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu ( Jakarta: Rajagrafindo Persada 2015)
0 komentar :
Posting Komentar