Pemimpin dan Pemain
Menurut Muhammad Tholhah Hasan dalam Islam dan
Masalah Sumber Daya Manusia (Lantabara Press, 2005) menyatakan bahwa
pemimpin adalah orang yang mempunyai wewenang, hak untuk mempengaruhi orang
lain, sehingga orang yang ditujunya mengikuti tingkah laku, sebagaimana yang
dikehendakinya. Mentaati dan mengikuti pemimpin – dalam hukum Islam – hukumnya
wajib. Tegak atau tidak hukum positif ditentukan oleh “kepemimpinan”. Seluruh
keturunan Adam, mustahil akan mencapai kemaslahatan yang optimal, jikalau tidak
ada perkumpulan yang sifatnya mengikat dan memecahkan problem. Dalam kondisi
ini dibutuhkan pemimpin.
Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah fî al-Islah al-Ra’i wa al-Ra’iyah (Dar Alim al-Fawa’id) menyatakan “mahluk yang paling dicintai Allah adalah imam pemimpin yang adil, sedangkan yang paling dibenci adalah
pemimpin yang zhalim”. Pemimpin yang zhalim dalam situasi saat ini, dinamakan “pemain”. Pemimpin ideal yang
harus dipilih dalam setiap pemilihan adalah tunduk dan patuh kepada Allah,
tidak membohongi masyarakat (Qs. Ali Imran/3: 104) dan mengoptimalkan
sikap adil (Qs. al-Nisa/4: 58), dan masyarakat juga
dituntut taat kepada pemimpin (Qs. al-Nisa/4: 59). Dalam konsepsi ayat tersebut adalah tentang ketaatan pada pemimpin, bukan konsepsi
kenegaraan sebagaimana diwacanakan oleh kalangan Hizbut Tahrir Indonesia.
Dalam kondisi apapun, pemimpin sangatlah penting.
Inilah penegasan kalimat Ibnu Taimiyah sebelumnya, bahwa “enam puluh tahun dari
kehidupan seorang pemimpin yang zhalim itu lebih baik daripada
satu malam tanpa adanya pemimpin”. Zhalim yang dimaksud disini
adalah pemimpin yang di dalam kepemimpinannya tidak berlaku adil, pemimpin ini
berwajah pemain. Berjubah pemimpin namun berkarakter pemain, ia sedang
memainkan masyarakat dengan wewenang yang dimilikinya. Artinya, kebolehan
memilih pemimpin zhalim dikala ketiadaan pemimpin
yang bijaksana. Selama ada pemimpin yang sejalan dengan nilai-nilai ke-Islam-an
dan tidak merugikan umat Muslim maka dia boleh dipilih.
Catatan dalam naskah Sanghyang Hayu (Sunda) di dalam
diri pemimpin harus terdapat prinsip-prinsip “astaguna” atau delapan kearifan. Pertama,
animan (lemah lembut); Kedua, ahiman (tegas). Ketiga, mahiman
(berwawasan luas). Keempat, lagiman (gesit, cekatan dan terampil). Kelima,
prapti (tepat sasaran). Keenam, prakamya (ulet dan tekun). Ketujuh,
isitna (jujur) dan kedelapan, wasitwa (transparan dan terbuka untuk
dikritik).
Kepentingan masyarakat harus lebih di dahulukan daripada kepentingan
pribadi pemimpin. Sebagaimana kaidah Fikih, yang tertuang dalam kitab al-Qawaid
al-Fiqhiyah (2001), kehadiran pemimpin untuk memberi dan menerapkan
kebijakan yang berskala besar dan maslahat umat, bukan hanya kepentingan
golongan, partai dan bahkan kolega pribadi.
تَصَرُّفُ الْأِمَاِم عَلَى الرَّاعِيَّةِ مَنُوْطٌ
بِالْمَصْلَحَةِ
“Tindakan imam terhadap
rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan”
Pancasila, Bhinneka
Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 adalah harga mutlak untuk dijalani oleh seorang
pemimpin di Indonesia. Kalau prinsip kepemimpinan dan tujuan kesejahteraan
rakyat tidak sejalan dan beriringan, maka ancamannya adalah kerusakan di segala
bidang, dan murka Allah akan turun kepada bangsa-negara tersebut. Hal ini
sesuai dengan firman Allah Swt:
Kalau
sekiranya kebenaran tunduk kepada kehendak hawa ¬nafsu mereka, niscaya rusaklah
semua langit dan bumi dan segala apa yang ada di dalam¬nya. Bahkan Kami berikan
ke¬pada mereka itu al-Quran untuk kehormatan sebutan mereka, namun mereka tetap
berpaling dari kehormatan itu (Qs. al-Mu’minun/23: 71).
Dari beberapa dalil yang tertera di atas, ada tiga poin penting yang
harus dijalankan oleh pemimpin, yakni: pertama, kebijakan yang bermuara
pada kemaslahatan umat (rakyat). Kedua, amar makruf dan continual
improvment. Tindakan
ini belum sepenuhnya berjalan dengan baik di Indonesia. Ulama dan Umara lebih banyak berada pada aspek reaktif ketimbang
antisipatif. Termasuk dalam menjalankan ideologi Pancasila, perubahan
undang-undang yang sudah terjadi empat kali, lebih kepada reaksi segelintir
orang, di dominasi oleh kepentingan dan membongkar apa yang tidak disukai dari
pemimpin sebelumnya. Ibaratnya, orang yang sedang menyiangi rumput yang tumbuh
disekitar padi, padinya ikut tercabut. Optimisme yang tidak didasari oleh
semangat kebangsaan dan ke-Ilahi-an akan mengakibatkan pada tindakan yang
semen-mena. Akhirnya, sampai saat ini pergantian pemimpin terus terjadi, tapi
masyarakat Indonesia belum memanen. Lebih kepada selera individu – sebagai
perubah – bukan selera bangsa dan ideologi itu sendiri.
Ketiga, beriman. Firman Allah dalam Qs.
al-A’raf/: 96 sejalan dengan butir Pancasila. Pemimpin yang dipilih harus
beriman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Fondasi ini sangat menentukan dalam
setiap kebijakan dan tindak lakunya. Indonesia bukanlah negara sekuler, yang
memisahkan agama dan negara, dan juga bukan negara agama yang memformalisasikan
nilai-nilai agama, tetapi negara yang bukan keduanya. Tingkat keimanan pemimpin
dan masyarakat, akan menentukan kualitas sebuah bangsa. Banyak bangsa yang
terdapat di dalamnya, masyarakat yang tidak beriman, pada suatu hari akan
memakan balon yang dilempar oleh mereka, dan meminta pertanggungjawaban kepada
orang yang melempar balon itu, termasuk balon sekularisasi dan liberalisasi. Wallahu
a’lam bi al-Shawȃb.
0 komentar :
Posting Komentar