Hiruk pikuk perpolitikan di Indonesia saat ini, sedang mengalami
kemerosotan sosok wakil Tuhan, wakil Tuhan yang mampu menjadi penyambung lisan
rakyat. Rakyat
bertahun-tahun lamanya, menunggu pemimpin yang mampu membawa dan menerapkan
nilai-nilai agama, dalam tindak laku dan perbuatannya. Pemimpin tidak saja
dalam arti fisial, yang hadir setelah terpilih dalam ruang sistem demokrasi,
namun menjadi suri tauladan bagi rakyatnya, acuan kehidupan dalam bernegara dan
berbangsa.
Pemimpin yang sampai pada “hikmah” akan mengalami
kehidupan yang tenang pada kelak hari. Hikmah ilmu hukum adalah keadilan, hikmah ilmu ekonomi adalah
pemerataan kepada seluruh elemen masyarakat, bukan mengisap aset dibawah ke
atas, melainkan dari atas ke bawah. Hikmah ilmu politik adalah penerapan kebajikan pada setiap perangai selama
menjadi politikus Negara, hikmah ilmu agama adalah
kebaikan tertinggi yang wujud dengan kongkrit, hikmah ilmu sosial adalah kemanusian yang adil dan beradab. Jikalau
semua pemimpin dan pejabat negara sampai pada hikmah-Nya, keberkahan hidup
menyertai dirinya. Maka masyarakat akan mudah dipandu, tanpa paksaan dan
kritikan tajam yang dilontarkan rakyat pada
seorang pemimpin.
KH. Wahid Hasyim dan KH. Hasyim Asy’ari adalah dua
tokoh fenomenal, diantara pelbagai tokoh ternama lainnya, yang kehadirannya di
masyarakat sangat dinanti-nantikan. Kewibawaan dan ilmu yang dimilikinya sampai pada titik hikmah, membuat dirinya
dirindu-rindukan, dielu-elukan masyarakat. Dalam catatan sejarah, pada saat itu
justru kebanyakan masyarakat menanti dan berbondong-bondong ke tempat area,
dimana keduanya akan berceramah dan berpidato. Saat ini fenomena demikian
sangat sulit di dapatkan.
Pemimpin datang ke sebuah daerah bersama timnya,
masyarakat justru meminta uang dan menagih janjinya yang belum terlaksana.
Kondisi saat ini, diamnya seseorang dalam percaturan politik mampu dibayar oleh
seorang politisi dan sejenisnya. Ilmu hikmah sangat jarang kita temui pada pemimpin-pemimpin
negara saat ini.
Di satu sisi, tingkat keharmonisan ulama dan umara,
tidak sekondisif dan seintensif pada zaman dahulu. Ulama dalam kapasitasnya
sebagai pemuka agama, membantu gejala-gejala tindakan negatif atau upaya
preventif ketika tindakan dan kelompok memiliki niat untuk merong-rong rajutan
tali negara yang sudah mapan, rajutan yang diikat oleh ideologi Pancasila. Dan negara dalam kapasitas ini, membantu upaya
ulama dalam menjaga stabilitas negara, dengan memperhatikan kehidupan ulama.
Ulama dalam konsepsi idealnya, tidak boleh menjauh
dari negara dan pemerintahan. Adagium terkenal Ali bin Abi Thalib menyatakan
bahwa “carilah ilmu dan harta supaya kamu bisa memimpin. Dengan ilmu engkau akan memudahkanmu memimpin
orang-orang yang berada di atas. Sedangkan harta, memudahkanmu memimpin
orang-orang yang berada di bawah”. Adagium ini benar, ulama dengan otoritas dan kapasitas
intelektualitasnya selalu menjadi penerang pejabat negara, mengontrol dan
menasehati pejabat-pejabat yang terindikasi keluar dari jalur dan rel yang
sudah ditetapkan. Sedangkan negara, memberdayakan ulama dengan memberikan
bantuan kehidupan. Ulama adalah orang yang takut kepada Allah (khasyatullȃh). Merasa cukup di dalam kecukupannya, tidak mau
menampakkan kekurangan yang dimiliki. Mereka mengabdikan diri kepada umat tanpa
pamrih dan mengajukan proposal. Kepekaan pemerintah dalam kondisi seperti ini,
harus ditingkatkan.
Ulama dengan adanya wadah negara, mampu memberikan
ilmu yang dimilikinya. Keberlangsungan dan negara kondisif
sangat mempengaruhi mutu pendidikan di sebuah negara, termasuk pesantren. Tanpa
situasi ini, maka seluruh elemen pendidikan, tidak berjalan dengan sempurna dan
ideal. Baca Selanjutnya....
0 komentar :
Posting Komentar