Oleh : Farouk Hamdi*
Akhir-akhir ini isu penegakan khilafah ala ISIS menjadi
trending topik yang menghiasi sejumlah media, dan hampir bisa dipastikan
headline di sejumlah surat kabar pun memuat nama ISIS sebagai branding market
sejumlah media cetak. Memang cukup beralasan jika fenomena ISIS atau (Islamic State of Irak and Syam) ini
menjadi buah bibir di kalangan masyarakat, mengingat sepak terjangnya yang jauh
dari sikap santun dan humanis, menjadikannya sebagai penyebab dari Islamphobia.
Istilah ISIS yang dalam literatur Arab dikenal dengan
DAISY (Daulatun
Islamiyatun fil Irak wa al-Syam), merupakan kelompok garis keras yang
mengusung konsep khilafah nubuwwah yang diyakininya sebagai solusi alternatif
dari berbagai macam kegagalan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan, baik
sistem demokrasi ataupun sistem monarki abshalut, yang mana kedua sistem ini
dianut oleh hampir semua negara-negara yang ada di dunia ini.
Jauh sebelum konsep khilafah ini lahir, Rasulullah s.a.w.
pernah membuat undang-undang yang tertuang pada tinta emas dalam perjanjian
suci dan sakral. Undang-undang yang diilhami dari nilai-nilai al-Qur’an
tersebut kelak di kemudian hari menjadi pijakan dari suatu konsep kenegaraan
dalam arti yang luas. Itulah Piagam Madinah yang di dalamnya memuat empat puluh
tujuh pasal.
Dari keempat puluh tujuh pasal terebut para pakar kemudian
menguraikannya ke dalam sub-sub pokok pembahasan, di antaranya adalah sub
tentang hak asasi manusia, hak-hak dan kewajiban bernegara, hak perlindungan
hukum, dan hak toleransi dalam beragama antara kaum Muhajirin, Anshar, Yahudi
dan Nashrani. Berangkat dari Piagam Madinah inilah para pakar politik modern
kemudian menyebutnya sebagai manifesto politik pertama dalam Islam.
Penulis sangat terkejut saat sebagian kecil dari komponen
rakyat Indonesia yang dengan lantang menyuarakan suatu konsep mengenai Negara
Islam di Nusantara. Padahal, bila ditinjau dari sosio historis yang ada,
Indonesia dokenal sebagai Negara yang berdaulat pasca diproklamirkan
kemerdekaannya telah membuat konsensus institusi yang menjadikan UUD ‘45 dan
Pancasila sebagai ideologi bangsa.
Penulis meyakini Haqqul Yaqin,
dijadikannya UUD ’45 dan Pancasila sebagai bagian dari pilar kebangsaan bukan
tanpa alasan yang jelas. Hal ini bisa dikaji dengan keseriusan para pendahulu
dan pendiri bangsa, sebut saja semisal KH. Wahid Hasim dan H. Agus Salim,
dua-duanya merupakan tokoh Islam yang tidak diragukan lagi kapasitas keilmuan
dan kesalehannya.
Kalau kita cermati lebih mendalam, pada dasarnya Pancasila
merupakan tata nilai dari al-Quran itu sendiri. Misalnya, pada sila pertama
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, ia merupakan interpretasi dari surat al-Ikhlas ayat
pertama Qul Huwallahu Ahad.
Bila diamati dengan seksama, Allah s.w.t. menggunakan redaksi Ahad dan
tidak menggunakan redaksi Wahidatau Awwal karena
dalam disiplin ilmu dalalah atau kajian ilmu semantic, kalimat Ahad bermakna “Satu-Satunya”.
Dalam wacana Yurisprudensi Islam, kajian tentang syariat
yang termaktub di dalam al-Qur’an dan al-Hadits seperti hukum Qishash, potong tangan, rajam dan seterusnya, penulis
memahaminya sebagai aplikasi hukum yang bersifat temporer yang banyak
diterapkan pada awal berdirinya Islam itu berdiri. Alasan penulis adalah karena
di dalam bahasa agama kita termaktub In Yuf’ala Maa fa’ala.
Untuk itu, penulis menyadari masih ada syariat Islam yang
lebih substansial dan lebih urgen, yakni mengislamkan saudara kita yang sudah
Islam seperti mengajak saudara-saudara muslim yang belum melaksanakan syariat
secara konsekuen dan istiqamah seperti sholat, puasa, zakat, dan seterusnya,
daripada harus merekonstruksi ideologi yang sudah mapan di Negara ini.
Baru-baru ini, kita kembali dihebohkan oleh seruan jihad
yang diserukan oleh ISIS dengan ideologi khilafahnya yang memahami jihad
sebagai tindakan radikal dan ekstrim. Mengutip pendapat Mohammad Khoiron yang
juga wakil ketua Pimpinan Wilayah IPNU DKI Jakarta dalam makalah “Konsep Jihad,
Syahid, dan Fai’i Dalam Fiqih Siyasah; Meluruskan Kembali Makna Jihad, Syahid
dan Fai’i”, ia memahami bahwa jihad dalam pengertian perang melawan kaum kafir
baru diperintah oleh Allah s.w.t. sesudah Rasulullah s.a.w. hijrah ke Madinah.
Artinya sebelum beliau hijrah ke Madinah, Allah s.w.t.
tidak mengizinkan Rasulullah s.a.w. dan kaum muslimin untuk berperang, itupun
karena posisi kaum muslimin yang terdzalimi dan terdesak, karena seandainya
jika tidak melakukan perang, maka Islam akan hilang dari muka bumi. Oleh karena
itu maka perintah jihad pada ayat-ayat Makkiyah, dengan kata lain ayat-yat
jihad sebelum turun di kota Madinah tertuju pada aktivitas selain perang.
Terkait penjelasan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
makna jihad tidak selamanya identik dengan peperangan secara fisik, akan tetapi
makna jihad pada hakikatnya lebih kepada upaya untuk menegakkan syariat Islam
sesuai dengan konteks dan illah-nya. Mengutip pendapat Imam al-Qurtubi dalam
tafsirnya, bahwa Nabi Muhammad s.a.w. tidak diizinkan berperang selama beliau
menetap di Makkah. Akan tetapi ketika beliau telah berhijrah ke Madinah,
barulah Allah s.w.t. memberikan izin kepada beliau untuk memerangi (melawan)
orang-orang musyrik yang memulai memerangi beliau.
Dengan demikian, sebagai warga yang baik dari Negara yang
berazaskan pancasila dan UUD ‘45 tentunya harus taat kepada pemerintah sebagai
bagian dari Ulil Amr. Dalam hal
ini, penulis mempunyai keyakinan bahwa Pancasila merupakan pengejewantahan dari
syariat Islam yang selaras dengan budaya dan adat Indonesia. Hidup dalam
keberagaman spesies dalam satu wadah kerukunan tanpa pandang warna rambut,
kulit, dan dari mana kita berasal juga adalah Tuntunan yang diajarkan Baginda
Nabi s.a.w. sebagaimana ditegaskan oleh beliau: “Inniy Innama Bu’itstu Bil
Hanafiyyati Al Samhah” (Hadits ke 7613 Majmu Al Zawaid wa Mamba’ Al Fawaid)
Karya As Syaikh Al Haytsamiy. Wallahu a’lam bis Shawab.
*Penulis adalah Wakil Direktur Departemen Litbang dan Kajian PW.
IPNU DKI Jakarta
0 komentar :
Posting Komentar